Agama telah mampu mempertahankan diri hingga hari ini, namun sebarapa jauh ia telah berubah dan dapatkah ia menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman? Gerakan modernisasi dan globalisasi menghadapkan agama kepada berbagai persoalan pelik, persoalan yang sedang dan akan terjadi jika peranan agama tidak betul-betul diberdayakan dalam kehidupan masyarakat-khususnya masyarakat muslim dan agamanya itu sendiri yaitu Islam.
Pada tanggal 28 Agustus samapai dengan 5 September 1993 di Chicago, Amerika Serikat, berlangsung sebuah pertemuan penting tingkat dunia, yaitu konferensi Parlemen Agama-agama Sedunia (World Parlement of Religions). Konferensi ini melahirkan sebuah keputusan yang mempersatukan agama dalam melawan cara hidup yang tidak beragama, serta bersama melakukan kebijakan bagi kepentingan perbaikan ummat manusia, dari berbagai hal, baik pemahaman terhadap kitabnya masing-masing, dan lebih jauh membahas tarap kehidupan sosial antara masyarakat pemeluk agama.
Kita melihat agama pada abad sekarang memang betul-betul dihadapkan pada permasalahan yang amat pelik, dikarenakan adanya era modernisasi dan globalisasi pembangungan.
Fenomena ini tak dapat dielakkan begitu saja, sebagai alasan karena ini merupakan sebuah kemajuan disatu sisi, sebab manusia mempunyai naluri yang produktif dalam artian bahwa manusia dapat mengembangkan potensi yang ada, yaitu kemajuan berpikir dan berkarya, salah satunya adalah globalisasi. Dan selanjutnya kita mengkaitkan globalisasi sebagai dasar kebudayaan manusia yang memang terus berkembang dengan pesat, dari berbagai sektor baik sosial, ekonomi, politik dan bioteknologi.
Ide dasar dari globalisasi adalah ditandainya dengan pesatnya perkembangan paham kapitalisme, yakni kian terbuka dan mengglobalnya peran pasar, investasi dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional, yang kemudian dikuatkan oleh ideologi dan tata perdagangan dunia baru dibawah suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara global, walaupun apa yang menjadi aturan globalisasi itu pun belum jelas.
Sedangkan agama pun mempunyai norma-norma yang dianggap abadi, dan harus ditegakkan dengan segala konsekwensinya. Salah satu konsekwensi tersebut adalah penumbuhan aturan-aturan agama kedalam aturan-aturan masyarakat (Abdurrahman Wahid, "Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan"). Dan agama merupakan faktor utama dalam mewujudkan pola-pola persepsi dunia bagi manusia. Persepsi-persepsi itu mempengaruhi perkembangan dunia dan menentukan cara manusia menundukkan dirinya didunia ini. Sebaliknya manusia mempunyai sejarah yang memaksakan perubahan dan penyesuaian terus menerus kaitannya dengan kegiatan manusia yang mempunyai dasar potensi pengembangan lebih-lebih dalam masyarakat yang sedang berubah dengan pesat.
Dalam hal ini kita tidak ingin adanya dikotomi, sebagai sample bahwa agama adalah sumber berbagai hambatan sosial dan mental yang perlu diatasi untuk mensukseskan pembangunan dan perubahan-perubahan yang signifikan bagi harapan dan kelayakan hidup yang digambarkan oleh program globalisasi. Pun sebaliknya globalisasi juga melahirkan kecemasan-kecemasan, bagaimana dengan permasalahan sekitar pemiskinan rakyat dan marjinalisasi rakyat, serta persoalan keadilan sosial. Dan sekaligus timbul pertanyaan bagi kedudukan globalisasi, apakah dalam hal pembangunan ini dapat memastikan harapan-harapan yang dinginkan oleh masyarakat banyak? Terutama masyarakat miskin, dan menumbuhkan keadilan sosial?
Kembali pada pengertian diantara keduanya yaitu Agama dan Globalisasi. Agama sebagai pandangan dunia dapat di terangkan bahwa mengatur dengan petunjuk-petunjuknya, pada seluruh bidang kehidupan manusia, dan agama pun mempunyai tujuan-tujuan yang mulia yaitu dengan menjanjikan kebahagiaan, dengan ini hendak dikatakan bahwa berbagai bentuk kepercayaan dan ideologi yang implementasinya diyakini akan mendatangkan kebahagiaan, tak kalah dengan tujuan-tujuan yang dicanangkan oleh program globalisasi, bahwa ini pun menjanjikan kebahagiaan, kelayakan kehidupan ummat manusia.
Wilayah yang sama dan tujuan yang sama adalah kepentingan manusia dalam ragka pemenuhan kebutuhan hidup, sesuatu yag dpaat memberikan manusia kegairahan dan kebahagiaan, untuk memperoleh yang terakhir (kebahagiaan) manusia mencangkuli wilayah tertentu dari agama secara besar-besaran; sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu ironi bahwa petunjuk-petunjuk agama yang semula berpretensi untuk menciptakan suasana "kekudusan" dalam diri manusia yang sompong, kini justru ditantang untuk menyesuaikan diri dengan suasana kepuasan manusia.
Globalisasi yang mana di isukan dibuat dan dicanangkan oleh kapitalisme menimbulkan peristiwa yaitu krisis pembangunan, yang terjadi di Asia Timur yang selama ini dijadikan teladan keberhasilan pembangunan dan keberhasilan kapitalisme Dunia ketiga tengah mengalami kebangkrutan dan terjadinya ekploitasi manusia atas manusia yang lain.
Jika kita lihat kembali, bahwa pembangunan-sebagai implikasi dari program globalisasi tidak patut dipersalahkan disatu pihak, dipihak lain agama yang mempunyai peran sebagai media spritual tidak lantas dituduh dan dijadikan alasan penghambat pembangunan, uraian diatas merupakan refleksi terhadap peranan dan perjalanan agama-maupun perubahan yang diciptakan oleh insting manusia yang selalu menuntut perubahan di satu pihak, dipihak lain agama mempunyai aturan yang harus dijalankan.
Hubungan antara agama dan kebudayaan ( yang direfleksikan dengan globalisasi) merupakan suatu yang ambivalen, sama-sama kalau boleh berprasangka-membutuhkan, karena kalau kita lihat agama banyak memanfaatkan kebudayaan manusia dan sebaliknya kebudayaan sendiri mendatangkan istilah agama, yang melalui perenungan dan pemikiran manusia.
Sejak dikembangkannya kesepakatan The Bretton Woods di Amerika Serikat yang sesungguhnya didorong oleh kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional dan yang merupakan aktor terpenting dari globalisasi, unsur-unsur yang menyebabkan kehancuran globalisasi disini adalah adanya paksaan-paksaan, globalisasi yang tadinya untuk mensejahterakan manusia ternyata melebihi batas, contoh yang telah dikemukakan diatas yaitu dengan mengeksploitasi manusia dengan tanpa kejelasan dan sebab yang menjadi dasar eksploitasi.
Akibatnya, pada saat ini telah mulai tumbuh gerakan-gerakan tantangan maupun resistensi terhadap globalisasi baik di tingkat internasional maupun tingkat lokal. Area-area resistensi dan tantangan terhadap globalisasi tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Pertama, tantangan gerakan kultural dan agama terhadpa globalisasi, sudah lama terdapat fenomena lahirnya gerakan yang berbasis agama maupun gerkakan rtesistensi budaya melalui pembangunan dan globalisasi. Gerkaan berbasis agama ini timbul dimana-mana dan dengan label bermacam-macam pula.
Kedua, tantangan dari new social movement dfan Global civil society terhadap globalisasi new social movement adalah geraka sosial untuk menentang pembangunan dan globalisasi, seperti gerkan hijau, feminisme, gerakan masyarakat akar rumput. Misalnya saja gerakan resistensi terhadap pembangunan dam dibeberapa tempat diasia.
Ketiga, tantangan gerkan likungan terhadap globalisasi. Meskipun tidak semua gerakan lingkungan secara langsung menentang globalisasi, berkembangnya gerakan lingkungan untuk pemberdayaan rakyat (eko-populisme) dan gerakan lingkungan yang dipengaruhi kesadaran lingkungan bersumber dari barat. Gerakan ini banyak di pengaruhi oleh pikiran Rachel Catson dalam "Silent Spring" yang membongkar tentang kerusakan ekosistem dunia yang diakibatkan praktyek ekonomi modern seperti penggunaan kimia dalam pertanian.
Sementara itu, eko-populisme, lahir sebagai keprihatinan terhadap rusaknya lingkungan karena juga menghancurkan kehidupan rakyat sekitarnya oleh sebab itulah gerakan lingkungan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerakan hak-hak perlindungan adat, dalam pada itu muncullah gerakan resistensi lingkungan didunia ke-tiga seperti grakan masyarakat Chipko (Hipko Movement) di india, yakni suatu gerakan , terutama kaum perempuan menentang perusahaan penebangan hutan. Walhi , suatu organisasi jaringan gerakan lingkungan di Indonesia dalam perjalanan organisasinya juga menjadi gerakan resistensi terhadap globalisasi. (yang ditulis oleh Dr. Mansour Fakih dalam Bukunya yang berjudul "Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi").
Bicara tentang modernitas dengan segala manfaat dan mudaratnya sudah menjadi fakta keras dalam kehidupan manusia modern. Tak seorangpun dapat lari dari padanya. Ia sepenuhnya sudah memembuana. Islam sebagai agama yang monoistik terakhir sesudah Yudaisme dan agama Kristen harus membuka matanya lebar-lebar untuk belajar secara kritikal dari pengalaman sejarah para pendahulunya. Pelajaran tentang keberhasilan atau kegagalan mereka dalam menghadapi tantangan zaman menjadi sangat krusial bagi islam yang sekarang, demi menentukan posisi globalnya sendiri untuk turut menyelamatkan masa depan manusia dari serbuan nihilisme dan berpartisipasi dalam membangun sebuah duniayang adil dan damai. Bersama dengan agama-agama yang lain, islam harus tanpa henti mempelopori lahirnya paradigma baru bagi sebuah tatanan dunia berdasarkan nilai-nilai spiritual yang ditawarkan oleh semua. Paradigma lama berupa " kita versus mereka" sekalipun masih dipegang oleh segelintir orang, sudah tidak sejalan lagi dengan perasaan yang kuat tentang tunggalnya kemanusiaan. Doktrin ini secara berangsur tetapi pasti telah dimiliki semua agama dan kebudayaan. Dengan modal ini, maka ada harapan bagi sebuah hari depan yang baik dan damai bagi jenis kita sebagai homo sapiens, manusia bijak.