Oleh : Nandang Rusnandar
Banyak pakar yang menyatakan bahwa orang Sunda khususnya dan Indonesia umumnya adalah para pendatang dari daerah Yunan. Benarkah itu? Ada sebuah cerita (anggap saja ini sebuah dongeng tapi perlu kita cermati dengan seksama).
Di daratan Asia, kira-kira antara Pegunungan Hindukusj dan Pegunungan Himalaya ada sebuah dataran tinggi (plateau) yang bernama Iran-venj, penduduknya disebut bangsa Aria. Mereka menganggap bahwa tanah airnya disebut sebagai Taman Surga, karena kedekatannya dengan alam gaib. Namun, mereka mendapat wangsit dalam Uganya, bahwa suatu ketika bangsa Iran Venj akan hancur, sehingga bangsa Aria ini menyebar ke berbagai daerah. Salah satu gerombolan bangsa Aria yang dikepalai oleh warga Achaemenide menyebut dirinya sebagai bangsa Parsa dan pada akhirnya disebut bangsa Persi dan membangun kota Persi-Polis. Pemimpin Achaemenide bergelar Kurush (orang Yunani menyebut Cyrus). Dalam perjalanan sejarahnya, mereka membantu bangsa Media yang diserang oleh bangsa Darius. Bahkan bangsa Darius dengan pimpinan Alexander Macedonia pun pada akhirnya menyerang Persi. Dan tak lepas dari itu bangsa Persi, pada jaman Islam pun diserang dan ditaklukkan. Begitu pula oleh Jengis Khan dari Mongol, dan pada akhirnya diserang pula oleh bangsa Tartar yang dikepalai oleh Timur-Leng. Rentang perjalanan sejarah bangsa Persi ini, menyadarkan mereka untuk kembali kepada nama asalnya, yaitu Iran (dari Iran-Venj)
Segerombolan suku bangsa Aria yang menuju arah Selatan, sampai di sebuah pantai ‘basisir’ daratan Arab. Dari sana mereka terus menyebar yang pada akhirnya sampai juga di tanah Sunda, tepatnya di Pelabuhanratu (sekarang).
Para pendatang itu disambut dengan ramah dan terjadi akulturasi budaya di antara mereka, pendatang dan pribumi (Sunda) saling menghormati satu sama lainnya. Proses akulturasi budaya ini dapat kita lihat dalam sistem religi yang diterapkan, Pendatang mengalah dengan keadaan dan situasi serta tatanan yang ada. Batara Tunggal atau Hyang Batara sebagai pusat ‘sesembahan’ orang Sunda tetap menempati tempat yang paling tinggi, sedangkan dewa-dewa yang menjadi ‘sesembahan’ pendatang ditempatkan di bawahnya. Hal itu dapat dilihat dalam stratifikasi sistem ‘sesembahan’ yang ada di daerah Baduy, dikatakan bahwa Batara Tunggal atau Sang Rama mempunyai tujuh putra keresa, lima dewa di antaranya adalah Hindu, yaitu :
· Batara Guru di Jampang
· Batara Iswara (Siwa)
· Batara Wisnu
· Batara Brahma
· Batara Kala
· Batara Mahadewa (pada akhirnya menjadi Guriang Sakti serta menjelma jadi Sang Manarah atau Ciung Manara)
· Batara Patanjala (yang dianggap cikal bakal Sunda Baduy)
Akulturasi ini, tidak saja dalam lingkup budaya, melainkan dalam perkawinan, sehingga melahirkan tujuh putra utama, yaitu :
· Prabu Tanduran Gagang (bagi mereka yang merasa keturunannya, tidak menyebut tandur, tapi ‘melak pare’)
· Prabu Ranggapupuk
· Prabu Ranggasena
· Prabu Emudsari
· Prabu Tetegan Wangi (yang bertanggungjawab mengenai sejarah)
· Prabu Angga Waruling
· Prabu Siliwangi
Sebagai jembatan keledai untuk memudahkan mengingatnya bagi orang Sunda, yaitu : Tandurangagang - gagangna; ranggapupuk - cupat; Ranggasena - cangkangna; Emudsari - kulumudna; Tetegan Wangi - dagingna; Anggawaruling - sikina; Siliwangi - seungitna. Siliwangi mempunyai tugas mengurus negara ‘ngaheuyeuk dayeuh ngolah nagara’ di Pakuan Pajajaran. Prabu Siliwangi ini beristri Kentrimanik Mayang Sunda, serta mempunyai anak :
1. Aci Solenggang Pakuan
2. Munding Sanggawati
3. Aci Malati
Ketiga putra ini mempunyai tugas untuk mencari tanah Parahiangan (Iran-Venj). Rombongan pertama dapat singgah di Bali serta mendirikan kerajaan. Rombongan kedua singgah di Kutai (Kalimantan), di sini pun mendirikan kerajaan. Sedangkan rombongan ketiga singgah di Polynesia dan diteruskan hingga ke Beutimelik , bagi orang Mauri disebut Selandia Baru.
Waktu itu pada jaman Siliwangi peradaban yang dimiliki sudah cukup tinggi, hingga ada perubahan dari jaman megalitik ke jaman logam, dari sistem pemerintahan Daleum ke pemerintahan kerajaan. Pada waktu itu, penduduknya sudah mengenal sistem metalurgi yang cukup tinggi, hal itu terbukti dari sistem teknologi dalam pembuatan keris, sekin, badi, dan lain-lain. Tata cara pembuatannya memang tidak seperti sekarang, dalam bentuk keris, badi, atau sekin akan terlihat gurat-gurat dan garis tangan si pembuatnya. Hal itu berbeda dengan jaman Majapahit, di mana cara membuat kerisnya dengan cara melebur dan dibakar (panday).
Bangsa Mauri dilihat secara tipologinya, mereka berkulit kuning (sawo matang), Postur tubuh hampir sama dengan orang Sunda. Begitu pula dengan nama-nama yang dipergunakannya, seperti Dr. Winata (kurang lebih tahun 60-an menjadi kepala Musium di Auckland). Nama ini tidak dibaca Winetou atau winoto tapi Winata (ngalagena). Beliaulah yang memberikan Asumsi dan teori bahwa orang Mauri berasal dari Pelabuhanratu. Hal yang lebih aneh lagi adalah di Selandia Baru tidak terdapat binatang buas, apalagi dengan harimau ‘maung’, tapi ‘sima’ maung dipergunakan sebagai lambang agar musuh-musuh mereka merasa takut.
Memang tidak banyak yang menerangkan bahwa orang Indonesia (Sunda) yang datang ke pulau ini, kecuali tersirat dalam Encyclopedia Americana Vol 22 Hal 335. Bangsa kita selain membawa suatu tatanan ‘tata - subita’ yang lebih tinggi, kebiasaan gotong royong, teknik menenun, juga membawa budaya tulis menulis yang kemudian menjadi “Kohao Rongo-rongo” fungsinya sebagai ‘mnemo-teknik’ (jembatan keledai) untuk mengingat agar tidak ada bait yang terlewat.
0 komentar:
Posting Komentar