This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 07 Februari 2010

Benarkah Orang sunda Pendatang,..??

Oleh : Nandang Rusnandar
Banyak pakar yang menyatakan bahwa orang Sunda khususnya dan Indonesia umumnya adalah para pendatang dari daerah Yunan. Benarkah itu? Ada sebuah cerita (anggap saja ini sebuah dongeng tapi perlu kita cermati dengan seksama).
Di daratan Asia, kira-kira antara Pegunungan Hindukusj dan Pegunungan Himalaya ada sebuah dataran tinggi (plateau) yang bernama Iran-venj, penduduknya disebut bangsa Aria. Mereka menganggap bahwa tanah airnya disebut sebagai Taman Surga, karena kedekatannya dengan alam gaib. Namun, mereka mendapat wangsit dalam Uganya, bahwa suatu ketika bangsa Iran Venj akan hancur, sehingga bangsa Aria ini menyebar ke berbagai daerah. Salah satu gerombolan bangsa Aria yang dikepalai oleh warga Achaemenide menyebut dirinya sebagai bangsa Parsa dan pada akhirnya disebut bangsa Persi dan membangun kota Persi-Polis. Pemimpin Achaemenide bergelar Kurush (orang Yunani menyebut Cyrus). Dalam perjalanan sejarahnya, mereka membantu bangsa Media yang diserang oleh bangsa Darius. Bahkan bangsa Darius dengan pimpinan Alexander Macedonia pun pada akhirnya menyerang Persi. Dan tak lepas dari itu bangsa Persi, pada jaman Islam pun diserang dan ditaklukkan. Begitu pula oleh Jengis Khan dari Mongol, dan pada akhirnya diserang pula oleh bangsa Tartar yang dikepalai oleh Timur-Leng. Rentang perjalanan sejarah bangsa Persi ini, menyadarkan mereka untuk kembali kepada nama asalnya, yaitu Iran (dari Iran-Venj)
Segerombolan suku bangsa Aria yang menuju arah Selatan, sampai di sebuah pantai ‘basisir’ daratan Arab. Dari sana mereka terus menyebar yang pada akhirnya sampai juga di tanah Sunda, tepatnya di Pelabuhanratu (sekarang).
Para pendatang itu disambut dengan ramah dan terjadi akulturasi budaya di antara mereka, pendatang dan pribumi (Sunda) saling menghormati satu sama lainnya. Proses akulturasi budaya ini dapat kita lihat dalam sistem religi yang diterapkan, Pendatang mengalah dengan keadaan dan situasi serta tatanan yang ada. Batara Tunggal atau Hyang Batara sebagai pusat ‘sesembahan’ orang Sunda tetap menempati tempat yang paling tinggi, sedangkan dewa-dewa yang menjadi ‘sesembahan’ pendatang ditempatkan di bawahnya. Hal itu dapat dilihat dalam stratifikasi sistem ‘sesembahan’ yang ada di daerah Baduy, dikatakan bahwa Batara Tunggal atau Sang Rama mempunyai tujuh putra keresa, lima dewa di antaranya adalah Hindu, yaitu :
· Batara Guru di Jampang
· Batara Iswara (Siwa)
· Batara Wisnu
· Batara Brahma
· Batara Kala
· Batara Mahadewa (pada akhirnya menjadi Guriang Sakti serta menjelma jadi Sang Manarah atau Ciung Manara)
· Batara Patanjala (yang dianggap cikal bakal Sunda Baduy)
Akulturasi ini, tidak saja dalam lingkup budaya, melainkan dalam perkawinan, sehingga melahirkan tujuh putra utama, yaitu :
· Prabu Tanduran Gagang (bagi mereka yang merasa keturunannya, tidak menyebut tandur, tapi ‘melak pare’)
· Prabu Ranggapupuk
· Prabu Ranggasena
· Prabu Emudsari
· Prabu Tetegan Wangi (yang bertanggungjawab mengenai sejarah)
· Prabu Angga Waruling
· Prabu Siliwangi
Sebagai jembatan keledai untuk memudahkan mengingatnya bagi orang Sunda, yaitu : Tandurangagang - gagangna; ranggapupuk - cupat; Ranggasena - cangkangna; Emudsari - kulumudna; Tetegan Wangi - dagingna; Anggawaruling - sikina; Siliwangi - seungitna. Siliwangi mempunyai tugas mengurus negara ‘ngaheuyeuk dayeuh ngolah nagara’ di Pakuan Pajajaran. Prabu Siliwangi ini beristri Kentrimanik Mayang Sunda, serta mempunyai anak :
1. Aci Solenggang Pakuan
2. Munding Sanggawati
3. Aci Malati
Ketiga putra ini mempunyai tugas untuk mencari tanah Parahiangan (Iran-Venj). Rombongan pertama dapat singgah di Bali serta mendirikan kerajaan. Rombongan kedua singgah di Kutai (Kalimantan), di sini pun mendirikan kerajaan. Sedangkan rombongan ketiga singgah di Polynesia dan diteruskan hingga ke Beutimelik , bagi orang Mauri disebut Selandia Baru.
Waktu itu pada jaman Siliwangi peradaban yang dimiliki sudah cukup tinggi, hingga ada perubahan dari jaman megalitik ke jaman logam, dari sistem pemerintahan Daleum ke pemerintahan kerajaan. Pada waktu itu, penduduknya sudah mengenal sistem metalurgi yang cukup tinggi, hal itu terbukti dari sistem teknologi dalam pembuatan keris, sekin, badi, dan lain-lain. Tata cara pembuatannya memang tidak seperti sekarang, dalam bentuk keris, badi, atau sekin akan terlihat gurat-gurat dan garis tangan si pembuatnya. Hal itu berbeda dengan jaman Majapahit, di mana cara membuat kerisnya dengan cara melebur dan dibakar (panday).
Bangsa Mauri dilihat secara tipologinya, mereka berkulit kuning (sawo matang), Postur tubuh hampir sama dengan orang Sunda. Begitu pula dengan nama-nama yang dipergunakannya, seperti Dr. Winata (kurang lebih tahun 60-an menjadi kepala Musium di Auckland). Nama ini tidak dibaca Winetou atau winoto tapi Winata (ngalagena). Beliaulah yang memberikan Asumsi dan teori bahwa orang Mauri berasal dari Pelabuhanratu. Hal yang lebih aneh lagi adalah di Selandia Baru tidak terdapat binatang buas, apalagi dengan harimau ‘maung’, tapi ‘sima’ maung dipergunakan sebagai lambang agar musuh-musuh mereka merasa takut.
Memang tidak banyak yang menerangkan bahwa orang Indonesia (Sunda) yang datang ke pulau ini, kecuali tersirat dalam Encyclopedia Americana Vol 22 Hal 335. Bangsa kita selain membawa suatu tatanan ‘tata - subita’ yang lebih tinggi, kebiasaan gotong royong, teknik menenun, juga membawa budaya tulis menulis yang kemudian menjadi “Kohao Rongo-rongo” fungsinya sebagai ‘mnemo-teknik’ (jembatan keledai) untuk mengingat agar tidak ada bait yang terlewat.

Paham Kakuasaan Sunda

Oleh : JAKOB SUMARDJO
kursi-kekuasaan

KEKUASAAN kurang lebih berarti kemampuan, kesanggupan, kekuatan, kewenangan untuk menentukan. Kekuasaan meliputi wilayah keluarga, kampung, negara, lembaga. Dalam pengertian kebudayaan, wilayah-wilayah kekuasaan tadi menampakkan pola-pola yang sama. Pengaturan kekuasaan dalam keluarga, dalam kampung, dalam kerajaan sama. Itulah pola kekuasaan yang menampakkan dirinya dalam berbagai hasil budaya Sunda. Namun, kebudayaan sebagai cara hidup kelompok itu berubah terus. Apa yang akan diuraikan di sini berdasarkan artefak-artefak budaya yang sudah ada, jadi agak kesejarahan, dalam arti “telah terjadi”.
Sumber dari pemahaman ini berasal dari cerita pantun, perkampungan Sunda, kampung adat, dan silat Sunda. Paham ini tersembunyi di balik yang tampak (tangible), sehingga memerlukan pemecahan simbol-simbolnya. Masyarakat Sunda sendiri dengan tidak disadari berlaku berdasarkan paham Sundanya, sehingga kurang berjarak untuk melihat realitas dirinya. Salah seorang mahasiswa pascasarjana di Bandung yang berasal dari Jawa Timur, pada suatu hari menyatakan pada saya, bahwa dia senang tinggal di Bandung karena orangnya ramah, baik, lembut hati. Masyarakat Sunda itu berkarakter halus, bukan kasar. Kalau harus “kasar”, tetap “halus”. Tidak keras tapi lembut. Tidak agresif tapi “diam”.
Pada dasarnya, sikap hidupnya agak ganda dalam arti positif, yakni paradoksal. Menyatu-memisah, menerima-mempertahankan, asli-berubah, mandiri-tergantung, pemilik-pemakai, tiga tapi satu dan satu tapi tiga. Genealogi dari sikap ini adalah budaya purbanya yang huma atau ladang. Hidup berladang itu menetap-pindah, produktif-konsumtif, bebas-tergantung, terbuka tertutup. Paham kekuasaannya juga berkarakter demikian itu.
Simbol kekuasaan Sunda dengan jelas sekali tergambar pada cerita pantun. Pangeran Pajajaran, misalnya Mundinglaya Dikusumah, ke mana pun pergi selalu diiringi oleh pengawal setianya, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Dalam pengembaraan Pangeran Pajajaran, dia digambarkan “diam dan pasif” tetapi sangat dihormati dan dipatuhi keputusannya. Dalam hal ini Mundinglaya lebih banyak diam, sedangkan yang aktif Gelap Nyawang sebagai pemikir dan pengatur strategi perjalanan (eksekutif) dan Kidang Pananjung sebagai penyelesai persoalan. Namanya juga Kidang Pananjung yang selalu ada paling depan.
Inilah tritangtu Sunda. Pangeran Pajajaran yang memiliki kekuasaan, namun tidak aktif menjalankan kekuasaannya. Ia menyerahkannya kepada Gelap Nyawang untuk bekerja dan Kidang Pananjung yang bertanggung jawab terhadap keselamatan, keamanan, dan kesatuan ketiganya. Ini berbeda dengan cerita wayang Jawa. Arjuna punya tiga pengiring seperti Mundinglaya, namun segala sesuatu dipecahkan sendiri oleh Arjuna. Ketiga pengiringnya hanya bertugas menguatkan dan menghibur majikannya. Arjuna adalah pemilik, pelaksana, dan penjaga dirinya sendiri.
Pola pengaturan kekuasaan semacam itu ternyata juga ada pada pantun Sunda sendiri. Pantun Sunda dimulai dengan tugas raja Pajajaran kepada putranya agar mengembara menemukan sebuah negara. Di negara yang ditemukannya itu ia menetap dan berkuasa dengan cara mengawini putri setempat. Karena kecantikan putri tersebut, banyak raja di sekitarnya yang juga ingin memilikinya. Terjadi perang antara raja-raja perebut putri dengan abang putri tersebut (yang biasanya dipakai sebagai judul lakon pantun). Para raja dapat dibunuh oleh abang putri yang menjadi istri Pangeran Pajajaran. Atas permintaan putri, para raja dihidupkan kembali dan bersumpah mengabdi kepada Pangeran Pajajaran.
Tampak bahwa pemegang mandat kekuasaan, Pangeran Pajajaran, justru diam namun berwibawa. Sedang yang aktif menyelesaikan persoalan negara adalah abang putri atau penguasa setempat. Dan bekas-bekas musuh pangeran akhirnya menjadi pelindung dan penjaga kekuasaan pangeran. Kekuasaan Sunda yang sejati itu adanya di Pakuan Pajajaran. Rajanya tidak beranjak dari kratonnya. Yang bergerak ke luar keraton justru putra-putranya (memperluas wilayah kekuasaan). Dan pada gilirannya, para Pangeran Pajajaran itu juga bersikap seperti ayahanda mereka di Pakuan. Pangeran-pangeran itu pasif di pusat negaranya yang baru. Yang aktif menjalankan kekuasaan justru raja setempat yang sudah menjadi keluarga Pajajaran. Sedangkan para pelindung (para anggota kerajaan) adalah raja-raja asing yang non-Sunda.
Dengan demikian, kekuasaan itu dimiliki-tidak dimiliki karena yang memiliki kekuasaan tidak menjalankan kekuasaan, sedang yang menjalankan kekuasaan tidak memiliki kekuasaan yang dijalankannya. Pihak kekuasaan ketiga adalah mereka yang bertugas menjaga kesatuan dan keamanan serta perlindungan pemilik dan pelaksana kekuasaan.
Kekuasaan, dalam paham ini, masuk kategori “perempuan” bukan “lelaki”. Perempuan itu yang memiliki, sedangkan lelaki yang menjalankan kepemilikan itu. Perempuan itu adanya di dalam rumah, bukan di luar rumah. Yang bergerak aktif di luar rumah itu lelaki. Kekuasaan sejati, yakni pemilik kekuasaan atau mandat kekuasaan surga adalah Raja Pajajaran dan putra-putranya yang tersebar di seluruh Jawa Barat. Sedang yang menjalankan kekuasaan bukan Raja Pajajaran atau putra-putranya di daerah, tetapi penguasa setempat atas nama Pajajaran. Sedangkan para pelindung kekuasaan boleh orang di luar pemilik dan pelaku kekuasaan.
Pola tripartit demikian itu rupanya bersumber pada pola pemerintahan kampung-kampung Sunda. Kampung telah ada terlebih dahulu dari pada lembaga negara yang bernama kerajaan. Dalam kampung-kampung Sunda tua, seperti di Kanekes-Baduy atau di Ciptagelar-Sukabumi selatan, kekuasaan kampung terbagi menjadi pemilik kekuasaan (kampung adat yang paling tua), pelaksana kekuasaan, dan penjaga kekuasaan kampung.
Kampung pemilik adat biasaya ada di bagian “dalam” dekat bukit dan hutan kampung, kampung pelaksana kekuasaan ada di tengah, dan kampung penjaga kekuasaan ada di luar. Dalam kampung adat Kanekes, masing-masing lembaga kekuasaan itu dipegang oleh Cikeusik (dalam, tua, adat), kemudian Cikertawana (eksekutif), dan Cibeo (pelindung batas).
Dalam kampung adat yang lebih modern, yakni di Ciptagelar, tripartit itu tetap dijalankan dalam bentuk kampung buhun (pemilik dan penjaga adat buhun Sunda), kampung nagara (pemerintahan modern nasional), dan kampung sarak (kampung yang mengurus kepentingan Islam). Dalam pola pikir ini, adat Sunda diletakkan sebagai pihak “dalam”, “pemilik sejati”, dan Islam berada di “luar” yakni batas wilayah kampung. Pemerintahan nasional ada di tengah.
Ternyata pola tripartit yang sama masih berlaku di banyak perkampungan Sunda di Jawa Barat seperti terjadi di Ciptagelar. Kampung Sunda di Darmaraja dekat Situraja, misalnya, membagi kesatuan tiga kampung dalam Kampung Cipaku yang mengurus kabuyutan kampung (Raja Haji Putih), Kampung Paku Alam mengurus pemerintahan nasional-modern (lurah), dan Kampung Karang Pakuan yang letaknya dekat jalan raya Darmaraja, merupakan kampung Islam di mana masjid kampung berada.
Di sinilah sikap terbuka-tertutup, tetap-berubah, menjalankan mekanismenya. Ketegangan budaya sering terjadi antara peran adat dan peran Islam. Sementara satu pihak menekankan adat buhun Sunda sebagai pemilik kekuasaan, di pihak lain Islam sebagai pemilik kekuasaan. Peran pelaku kekuasaan tetap lembaga pemerintahan nasional yang disetujui keduanya. Bagi mereka yang menjunjung tinggi kesundaan bersikap bahwa pemilik adalah Sunda (buhun, adat), sedang bagi yang menjunjung tinggi Islam bersikap “Islam itulah Sunda”, gerakan revivalisme Sunda, saya kira, berdasarkan pikiran siapa yang seharusnya dinilai sebagai “dalam” dan siapa yang dinilai sebagai “luar”. Seperti kita baca dalam kasus pantun Sunda, kategori “luar” itu mengandung arti “asing” juga.
Pola tripartit kekuasaan Sunda ini, dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan sikap “tetap” sekaligus “berubah”. Hal ini tampak dari penyebutan ketiga lembaga kekuasaan tersebut. Pada awalnya adalah pemilik kekuasaan, pelaksana kekuasaan, dan penjaga kekuasaan. Lalu di masa kerajaan menjadi sebutan resi, ratu, rama. Resi adalah pemilik kekuasaan yang tak bergerak, ratu adalah pelaksana yang bergerak aktif, dan rama yang merupakan rakyat (kepala kampung) yang menjaga ketertiban kampung masing-masing. Pada zaman perkembangan Islam rupanya menjadi pesantren (dalam), menak (bupati-bupati di Priangan), dan rakyat Sunda di kampung-kampung.
Terjemahannya dalam masyarakat modern Sunda, rupanya pola tripartit ini masih berlaku, yakni sebagai pemilik kekuasaan adalah rakyat Sunda (demokrasi), pelaksana kekuasaan gubernur-bupati, dan penjaga kekuasaan adalah panglima wilayah. Kategorinya; dalam, tengah, luar. Dalam dan tengah adalah Sunda, sedangkan pihak luar boleh asing (mirip para ponggawa dalam carita pantun).
Dengan demikian dasar paham kekuasaan Sunda itu lebih maternal dari pada paternal. Lebih mengasuh, rohani, adat, pikiran daripada sekadar memerintah. Sikap ini juga tercermin dalam silat Sunda yang lebih menyimpan kekuatan dari pada menggunakan kekuatan itu. Silat Sunda itu bageakeun baik untuk dirinya maupun “musuhnya”. Diri sendiri selamat dan yang menyerangnya juga selamat. Yang pertama dilakukan adalah gerak menghindar sekaligus disertai gerak menyerang. Bukan untuk mematikan, tetapi untuk membuat lawan tidak berdaya lagi. Inilah sebabnya pawang pembetul tulang banyak terdapat di kampung-kampung Sunda. Jadi, sikap terhadap kekuatan lebih menyimpan, defensif, daripada menggunakannya dan agresif. Ini tidak berarti bahwa para jawara silat Sunda kurang “berani”, justru sudah melampaui keberanian dan hanya menggunakan kekuatan tersebut apabila lawan memang sudah tak mau dibageakeun. Kekuasaan dan kekuatan itu tak boleh digunakan semena-mena, tetapi demi kesejahteraan bersama, baik dalam maupun luar.
Dalam zaman yang semakin menasional dan mengglobal ini, sikap feminin semacam itu memang dapat mengancam kesundaan. Sikap asli yang purba ini ditantang kearifannya dengan gelombang “kuasa laki-laki” yang agresif. Memang tidak mudah. Namun, pemahaman yang lebih mendalam tentang sikap hidup masyarakat Sunda ini perlu dilakukan, sehingga dapat dikenali “kedalaman sejatinya” yang kokoh namun lentur, tetap namun berubah. Feminin tidak berarti lemah, tetapi halus. Yang halus itu bisa kuat. Suatu kekuatan, kekuasaan, yang kokoh namun halus, arif, tinggi. ***
Sumber: Pikiran Rakyat, Selasa, 01 Januari 2007.

Sabtu, 06 Februari 2010

Sejarah Suku Sunda

ROGER L. DIXON
Pada tahun 1998, suku Sunda berjumlah lebih kurang 33 juta jiwa, kebanyakan dari mereka hidup di Jawa Barat. Diperkirakan 1 juta jiwa hidup di propinsi lain. Berdasarkan sensus tahun 1990 didapati bahwa Jawa Barat memiliki populasi terbesar dari seluruh propinsi yang ada di Indonesia yaitu 35,3 juta orang. Demikian pula penduduk kota mencapai 34,51%, suatu jumlah yang cukup berarti yang dapat dijangkau dengan berbagai media. Kendatipun demikian, suku Sunda adalah salah satu kelompok orang yang paling kurang dikenal di dunia. Nama mereka sering dianggap sebagai orang Sudan di Afrika dan salah dieja dalam ensiklopedi. Beberapa koreksi ejaan dalam komputer juga mengubahnya menjadi Sudanese.
Sejarah singkat pra-abad 20 ini dimaksudkan untuk memperkenalkan orang Sunda di Jawa Barat kepada kita yang melayani di Indonesia. Pada abad ini, sejarah mereka telah terjalin melalui bangkitnya nasionalisme yang akhirnya menjadi Indonesia modern.
SISTEM KEPERCAYAAN MULA-MULA
Suku Sunda tidak seperti kebanyakan suku yang lain, dimana suku Sunda tidak mempunyai mitos tentang penciptaan atau catatan mitos-mitos lain yang menjelaskan asal mula suku ini. Tidak seorang pun tahu dari mana mereka datang, juga bagaimana mereka menetap di Jawa Barat. Agaknya pada abad-abad pertama Masehi, sekelompok kecil suku Sunda menjelajahi hutan-hutan pegunungan dan melakukan budaya tebas bakar untuk membuka hutan. Semua mitos paling awal mengatakan bahwa orang Sunda lebih sebagai pekerja-pekerja di ladang daripada petani padi.
Kepercayaan mereka membentuk fondasi dari apa yang kini disebut sebagai agama asli orang Sunda. Meskipun tidak mungkin untuk mengetahui secara pasti seperti apa kepercayaan tersebut, tetapi petunjuk yang terbaik ditemukan dalam puisi-puisi epik kuno (Wawacan) dan di antara suku Badui yang terpencil. Suku Badui menyebut agama mereka sebagai Sunda Wiwitan [orang Sunda yang paling mula-mula]. Bukan hanya suku Badui yang hampir bebas sama sekali dari elemen- elemen Islam (kecuali mereka yang ditentukan ada lebih dari 20 tahun yang lalu), tetapi suku Sunda juga memperlihatkan karakteristik Hindu yang sedikit sekali. Beberapa kata dalam bahasa Sansekerta dan Hindu yang berhubungan dengan mitos masih tetap ada. Dalam monografnya, Robert Wessing mengutip beberapa sumber yang menunjukkan suku Sunda secara umum, "The Indian belief system did not totally displace the indigenous beliefs, even at the court centers."[1] Berdasarkan pada sistem tabu, agama suku Badui bersifat animistik. Mereka percaya bahwa roh-roh yang menghuni batu-batu, pepohonan, sungai dan objek tidak bernyawa lainnya. Roh-roh tersebut melakukan hal-hal yang baik maupun jahat, tergantung pada ketaatan seseorang kepada sistem tabu tersebut. Ribuan kepercayaan tabu digunakan dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari.
PENGARUH HINDUISME
Tidak seorang pun yang tahu kapan persisnya pola-pola Hindu mulai berkembang di Indonesia, dan siapa yang membawanya. Diakui bahwa pola- pola Hindu tersebut berasal dari India; mungkin dari pantai selatan. Tetapi karakter Hindu yang ada di Jawa menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawabannya. Misalnya, pusat-pusat Hindu yang utama, bukan di kota-kota dagang di daerah pesisir tetapi lebih di pedalaman. Tampaknya jelas bahwa ide-ide keagamaanlah yang telah menaklukkan pemikiran orang pribumi, bukan tentara. Sebuah teori yang berpandangan bahwa kekuatan para penguasa Hindu/India telah menarik orang-orang Indonesia kepada kepercayaan-kepercayaan roh magis agama Hindu. Entah bagaimana, banyak aspek dari sistem kepercayaan Hindu diserap ke dalam pemikiran orang Sunda dan juga Jawa.
Karya sastra Sunda yang tertua yang terkenal adalah Caritha Parahyangan. Karya ini ditulis sekitar tahun 1000 dan mengagungkan raja Jawa Sanjaya sebagai prajurit besar. Sanjaya adalah pengikut Shivaisme sehingga kita tahu bahwa iman Hindu telah berurat dan berakar dengan kuat sebelum tahun 700. Sangat mengherankan, kira-kira pada waktu ini, agama India kedua, Budhisme, membuat penampilan pemunculan dalam waktu yang singkat. Tidak lama setelah candi-candi Shivaisme dibangun di dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, monumen Borobudur yang indah sekali dibangun dekat Yogyakarta ke arah selatan. Candi Borobudur adalah monumen Budha yang terbesar di dunia. Diperkirakan agama Budha adalah agama resmi Kerajaan Syailendra di Jawa Tengah pada tahun 778 sampai tahun 870. Hinduisme tidak pernah digoyahkan oleh bagian daerah lain di pulau Jawa dan tetap kuat hingga abad 13. Struktur kelas yang kaku berkembang di dalam masyarakat. Pengaruh Sansekerta menyebar luas ke dalam bahasa masyarakat di pulau Jawa. Gagasan tentang ketuhanan dan kedudukan sebagai raja dikaburkan sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan.
Di antara orang Sunda dan juga orang Jawa, Hinduisme bercampur dengan penyembahan nenek moyang kuno. Kebiasaan perayaan hari-hari ritual setelah kematian salah seorang anggota keluarga masih berlangsung hingga kini. Pandangan Hindu tentang kehidupan dan kematian mempertinggi nilai ritual-ritual seperti ini. Dengan variasi-variasi yang tidak terbatas pada tema mengenai tubuh spiritual yang hadir bersama-sama dengan tubuh natural, orang Indonesia telah menggabungkan filsafat Hindu ke dalam kondisi-kondisi mereka sendiri. J. C. van Leur berteori bahwa Hinduisme membantu mengeraskan bentuk-bentuk kultural suku Sunda. Khususnya kepercayaan magis dan roh memiliki nilai absolut dalam kehidupan orang Sunda. Salah seorang pakar adat istiadat Sunda, Prawirasuganda, menyebutkan bahwa angka tabu yang berhubungan dengan seluruh aspek penting dalam lingkaran kehidupan perayaan-perayaan suku Sunda sama dengan yang ada dalam kehidupan suku Badui.
PENGARUH ORANG JAWA
Menurut Bernard Vlekke, sejarawan terkenal, Jawa Barat merupakan daerah yang terbelakang di pulau Jawa hingga abad 11. Kerajaan-kerajaan besar bangkit di Jawa Tengah dan Jawa Timur namun hanya sedikit yang berubah di antara suku Sunda. Walaupun terbatas, pengaruh Hindu di antara orang-orang Sunda tidak sekuat pengaruhnya seperti di antara orang-orang Jawa. Kendatipun demikian, sebagaimana tidak berartinya Jawa Barat, orang Sunda memiliki raja pada zaman Airlangga di Jawa Timur, kira-kira tahun 1020. Tetapi raja-raja Sunda semakin berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa yang besar. Kertanegara (1268-92) adalah raja Jawa pada akhir periode Hindu di Indonesia. Setelah pemerintahan Kertanegara, raja-raja Majapahit memerintah hingga tahun 1478 tetapi mereka tidak penting lagi setelah tahun 1389. Namun, pengaruh Jawa ini berlangsung terus dan memperdalam pengaruh Hinduisme terhadap orang Sunda.
PAJAJARAN DEKAT BOGOR
Pada tahun 1333, hadir kerajaan Pajajaran di dekat kota Bogor sekarang. Kerajaan ini dikalahkan oleh kerajaan Majapahit di bawah pimpinan perdana menterinya yang terkenal, Gadjah Mada. Menurut cerita romantik Kidung Sunda, putri Sunda hendak dinikahkan dengan Hayam Wuruk, raja Majapahit. Namun, Gadjah Mada menentang pernikahan ini dan setelah orang-orang Sunda berkumpul untuk acara pernikahan, ia mengubah persyaratan. Ketika raja dan para bangsawan Sunda mendengar bahwa sang putri hanya akan menjadi selir dan tidak akan ada pernikahan seperti yang telah dijanjikan, mereka berperang melawan banyak rintangan tersebut hingga semuanya mati. Meski permusuhan antara Sunda dan Jawa berlangsung selama bertahun-tahun setelah episode ini (dan mungkin masih berlangsung), tetapi pengaruh yang diberikan oleh orang Jawa tidak pernah berkurang terhadap orang Sunda.
Hingga saat ini, Kerajaan Pajajaran dianggap sebagai kerajaan Sunda tertua. Sungguhpun kerajaan ini hanya berlangsung selama tahun 1482-1579, banyak kegiatan dari para bangsawannya dikemas dalam legenda. Siliwangi, raja Hindu Pajajaran, digulingkan oleh komplotan antara kelompok Muslim Banten, Cirebon dan Demak, dalam persekongkolan dengan keponakannya sendiri. Dengan jatuhnya Siliwangi, Islam mengambil alih kendali atas sebagian besar wilayah Jawa Barat. Faktor kunci keberhasilan Islam adalah kemajuan kerajaan Demak dari Jawa Timur ke Jawa Barat sebelum tahun 1540. Dari sebelah timur menuju ke barat, Islam menembus hingga ke Priangan (dataran tinggi bagian tengah) dan mencapai seluruh Sunda.
KEMAJUAN ISLAM
Orang Muslim telah ada di Nusantara pada awal tahun 1100 namun sebelum Malaka yang berada di selat Malaya menjadi kubu pertahanan Muslim pada tahun 1414, pertumbuhan agama Islam pada masa itu hanya sedikit. Aceh di Sumatra Utara mulai mengembangkan pengaruh Islamnya kira-kira pada 1416. Sarjana-sarjana Muslim menahan tanggal kedatangan Islam ke Indonesia hingga hampir ke zaman Muhammad. Namun beberapa peristiwa yang mereka catat mungkin tidak penting.
Kedatangan Islam yang sebenarnya tampaknya terjadi ketika misionaris Arab dan Persia masuk ke pulau Jawa pada awal tahun 1400 dan lambat laun memenangkan para mualaf di antara golongan yang berkuasa.
KEJATUHAN MAJAPAHIT
Sebelum 1450, Islam telah memperoleh tempat berpijak di istana Majapahit di Jawa Timur. Van Leur memperkirakan hal ini ditolong oleh adanya disintegrasi budaya Brahma di India. Surabaya (Ampel) menjadi pusat belajar Islam dan dari sana para pengusaha Arab yang terkenal meluaskan kekuasaan mereka. Jatuhnya kerajaan Jawa yaitu kerajaan Majapahit pada tahun 1468 dikaitkan dengan intrik dalam keluarga raja karena fakta bahwa putra raja, Raden Patah masuk Islam. Tidak seperti pemimpin-pemimpin Hindu, para misionaris Islam mendorong kekuatan militer supaya memperkuat kesempatan-kesempatan mereka. Memang tidak ada tentara asing yang menyerbu Jawa dan memaksa orang untuk percaya. Namun dipergunakan kekerasan untuk membuat para penguasa menerima iman Muhammad. Baik di Jawa Timur maupun Jawa Barat, pemberontakan dalam keluarga-keluarga raja digerakkan oleh tekanan militer Islam. Ketika para bangsawan berganti keyakinan, maka rakyat akan ikut. Meskipun demikian, kita harus mengingat apa yang ditunjukkan Vlekke bahwa perang-perang keagamaan jarang terjadi di sepanjang sejarah Jawa.
KERAJAAN DEMAK
Raden Patah menetap di Demak yang menjadi kerajaan Islam pertama di Jawa. Ia mencapai puncak kekuasaannya menjelang 1540 dan pada waktunya menaklukkan suku-suku hingga ke Jawa Barat. Bernard Vlekke mengatakan bahwa Demak mengembangkan wilayahnya hingga Jawa Barat karena politik Jawa tidak begitu berkepentingan dengan Islam. Pada waktu itu, Sunan Gunung Jati, seorang pangeran Jawa, mengirim putranya Hasanudin dari Cirebon untuk mempertobatkan orang-orang Sunda secara ekstensif. Pada 1526, baik Banten maupun Sunda Kelapa (Jakarta) berada di bawah kontrol Sunan Gunung Jati yang menjadi sultan Banten pertama. Penjajaran Cirebon dengan Demak ini telah menyebabkan Jawa Barat berada di bawah kekuasaan Islam. Pada kuartal kedua abad 16, seluruh pantai utara Jawa Barat berada di bawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam dan penduduknya telah menjadi Muslim.[2] Karena menurut data statistik penduduk tahun 1780 terdapat kira-kira 260.000 jiwa di Jawa Barat, dapat kita asumsikan bahwa pada abad ke-16 jumlah penduduk jauh lebih sedikit. Ini memperlihatkan bahwa Islam masuk ketika orang-orang Sunda masih merupakan suku kecil yang berlokasi terutama di pantai- pantai dan di lembah-lembah sungai seperti Ciliwung, Citarum dan Cisadane.
NATUR ISLAM
Ketika Islam masuk ke Sunda, memang ditekankan lima pilar utama agama namun dalam banyak bidang yang lain dalam pemikiran keagamaan, sinkretisme berkembang dengan cara pandang orang Sunda mula-mula. Sejarawan Indonesia Soeroto yakin bahwa Islam dipersiapkan untuk hal ini di India. "Islam yang pertama-tama datang ke Indonesia mengandung banyak unsur filsafat Iran dan India. Namun justru komponen-komponen merekalah yang mempermudah jalan bagi Islam di sini."[3] Para sarjana yakin bahwa Islam menerima kalau adat istiadat yang menguntungkan masyarakat harus dipertahankan. Dengan demikian Islam bercampur banyak dengan Hindu dan adat istiadat asli masyarakat. Perkawinan beberapa agama ini biasa disebut "agama Jawa." Akibat percampuran Islam dengan sistem kepercayaan majemuk (yang belakangan ini sering disebut aliran kebatinan) memberi deskripsi akurat terhadap kekompleksan agama di antara sukui Sunda saat ini.
KOLONIALISME BELANDA
Sebelum kedatangan Belanda di Indonesia pada 1596, Islam telah menjadi pengaruh yang dominan di antara kaum ningrat dan pemimpin masyarakat Sunda dan Jawa. Secara sederhana, Belanda berperang dengan pusat-pusat kekuatan Islam untuk mengontrol perdagangan pulau dan hal ini menciptakan permusuhan yang memperpanjang konflik perang Salib masuk ke arena Indonesia. Pada 1641, mereka mengambil alih Malaka dari Portugis dan memegang kontrol atas jalur-jalur laut. Tekanan Belanda terhadap kerajaan Mataram sangat kuat hingga mereka mampu merebut hak- hak ekonomi khusus di daerah pegunungan (Priangan) Jawa Barat. Sebelum 1652, daerah-daerah besar Jawa Barat merupakan persediaan mereka. Ini mengawali 300 tahun eksploitasi Belanda di Jawa Barat yang hanya berakhir pada saat Perang Dunia kedua.
Peristiwa-peristiwa pada abad 18 menghadirkan serangkaian kesalahan Belanda dalam bidang sosial, politik dan keagamaan. Seluruh dataran rendah Jawa Barat menderita di bawah persyaratan-persyaratan yang bersifat opresif yang dipaksakan oleh para penguasa lokal. Contohnya adalah daerah Banten. Pada tahun 1750, rakyat mengadakan revolusi menentang kesultanan yang dikendalikan oleh seorang wanita Arab, Ratu Sjarifa. Menurut Ayip Rosidi, Ratu Sjarifa adalah kaki tangan Belanda. Namun, Vlekke berpendapat bahwa "Kiai Tapa," sang pemimpin adalah seorang Hindu dan bahwa pemberontakan itu lebih diarahkan kepada pemimpin-pemimpin Islam daripada kolonialis Belanda. (Sulit untuk melakukan rekonstruksi sejarah dari beberapa sumber karena masing- masing golongan memiliki kepentingan sendiri yang mewarnai cara pencatatan kejadian.)
AGAMA BUKANLAH ISU HINGGA TAHUN 1815
Selama 200 tahun pertama Belanda memerintah di Indonesia, sedikit masalah yang dikaitkan dengan agama. Hal ini terjadi karena secara praktis Belanda tidak melakukan apa-apa untuk membawa kekristenan kepada penduduk asli. Hingga tahun 1800, ada "gereja kompeni" yakni "gereja" yang hanya namanya saja karena hanya berfungsi melayani kebutuhan para pekerja Belanda di East India Company. Badan ini mengatur seluruh kegiatan Belanda di kepulauan Indonesia. Hingga abad 19 tidak ada sekolah bagi anak-anak pribumi sehingga rakyat tidak mempunyai cara untuk mendengar Injil.
Pada pergantian abad 19, East India Company gulung tikar dan Napoleon menduduki Belanda. Pada 1811, Inggris menjadi pengurus Dutch East Indies. Salah satu inisiatif mereka adalah membuka negeri ini terhadap kegiatan misionaris. Walaupun terjadi peristiwa penting ini, hanya sedikit yang dilakukan di Jawa hingga pertengahan abad tersebut. Kendati demikian, beberapa fondasi telah diletakkan di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang menjadi model bagi pekerjaan di antara orang Sunda.
SISTEM BUDAYA
Kesalahan politik yang paling terkenal yang dilakukan Belanda dimulai pada tahun 1830. Kesalahan politik ini disebut sebagai Sistem Budaya namun sebenarnya lebih tepat jika disebut sistem perbudakan. Sistem ini mengintensifkan usaha-usaha pemerintah untuk menguras hasil bumi yang lebih banyak yang dihasilkan dari tanah ini. Sistem budaya ini memeras seperlima hasil tanah petani sebagai pengganti pajak. Dengan mengadakan hasil panen yang baru seperti gula, kopi dan teh, maka lebih besar lagi tanah pertanian yang diolahnya. Pengaruh ekonomi ke pedesaan bersifat dramatis dan percabangan sosialnya penting. Melewati pertengahan abad, investasi swasta di tanah Jawa Barat mulai tumbuh dan mulai muncul perkebunan-perkebunan. Tanah diambil dari tangan petani dan diberikan kepada para tuan tanah besar. Menjelang 1870, hukum agraria dipandang perlu untuk melindungi hak-hak rakyat atas tanah.
PERTUMBUHAN POPULASI DI JAWA
Pada tahun 1851, di Jawa Barat suku Sunda berjumlah 786.000 jiwa dan orang Eropa berjumlah 217 jiwa. Dalam jangka waktu 30 tahun jumlah penduduk menjadi dua kali lipat. Priangan menjadi titik pusat perdagangan barang yang disertai arus penguasa dari Barat serta imigran-imigran Asia (kebanyakan orang Tionghoa). Pada awal abad 19, diperkirakan bahwa sepertujuh atau seperdelapan pulau Jawa merupakan hutan dan tanah kosong. Pada tahun 1815, seluruh Jawa dan Madura hanya memiliki 5 juta penduduk. Angka tersebut bertambah menjadi 28 juta menjelang akhir abad tersebut dan mencapai 108 juta pada tahun 1990. Pertumbuhan populasi di antara orang Sunda mungkin merupakan faktor non religius yang paling penting dalam sejarah mereka.
KONSOLIDASI PENGARUH ISLAM
Karena lebih banyak tanah yang dibuka dan perkampungan-perkampungan baru bermunculan, Islam mengirim guru-guru untuk tinggal bersama-sama dengan masyarakat sehingga pengaruh Islam bertambah di setiap habitat orang Sunda. Guru-guru Islam bersaing dengan Belanda untuk mengontrol kaum ningrat guna menjadi pemimpin di antara rakyat. Menjelang akhir abad, Islam diakui sebagai agama resmi masyarakat Sunda. Kepercayaan-kepercayaan yang kuat terhadap banyak jenis roh dianggap sebagai bagian dari Islam. Kekristenan, yang datang ke tanah Sunda pada pertengahan abad memberikan dampak yang sedikit saja kepada orang-orang di luar kantong Kristen Sunda yang kecil.
REFORMASI ABAD 20
Kisah dari abad ini dimulai dengan reformasi di banyak bidang. Pemerintah Belanda mengadakan Kebijakan Etis (Ethical Policy) pada tahun 1901, karena dipengaruhi oleh kritik yang tajam di berbagai bidang. Reformasi ini terutama terjadi dalam bidang ekonomi, meliputi perkembangan bidang pertanian, kesehatan dan pendidikan. Rakyat merasa diasingkan dari tradisi ningrat mereka sendiri dan Islam menjadi jurubicara mereka menentang ekspansi imperialistik besar yang sedang berlangsung di dunia melalui serangan ekonomi negara-negara Eropa. Islam merupakan salah satu agama utama yang mencoba menyesuaikan diri dengan dunia modern. Gerakan reformator yang dimulai di Kairo pada tahun 1912 diekspor ke mana-mana. Gerakan ini menciptakan dua kelompok utama di Indonesia. Kelompok tersebut adalah Sareket Islam yang diciptakan untuk sektor perdagangan dan bersifat nasionalis. Kelompok yang lain adalah Muhammadiyah yang tidak bersifat politik namun berjuang memenuhi kebutuhan rakyat akan pendidikan, kesehatan dan keluarga.
TIDAK ADA KARAKTERISTIK SEJARAH SUNDA
Apa yang menonjol dalam sejarah orang Sunda adalah hubungan mereka dengan kelompok-kelompok lain. Orang Sunda hanya memiliki sedikit karakteristik dalam sejarah mereka sendiri. Ayip Rosidi menguraikan lima rintangan yang menjadi alasan sulitnya mendefinisikan karakter orang Sunda. Di antaranya, ia memberikan contoh orang Jawa sebagai satu kelompok orang yang memiliki identitas jelas, bertolak belakang dengan orang-orang Sunda yang kurang dalam hal ini.
Secara historis, orang Sunda tidak memainkan suatu peranan penting dalam urusan-urusan nasional. Beberapa peristiwa yang sangat penting telah terjadi di Jawa Barat namun biasanya peristiwa-peristiwa tersebut bukanlah kejadian yang memiliki karakteristik Sunda. Hanya sedikit orang Sunda yang menjadi pemimpin baik dalam hal konsepsi maupun implementasi dalam aktivitas-aktivitas nasional. Memang banyak orang Sunda yang dilibatkan dalam berbagai peristiwa pada abad 20, namun secara statistik dikatakan, mereka tidak begitu berarti. Pada abad ini, sejarah orang Sunda pada hakekatnya merupakan sejarah orang Jawa.
ORIENTASI KEAGAMAAN ABAD 20
Agama di antara orang Sunda adalah seperti bentuk-bentuk kultural mereka yang lain. Pada umumnya, mencerminkan agama orang Jawa. Perbedaan yang penting adalah kelekatan yang lebih kuat kepada Islam dibanding dengan apa yang dapat kita temukan di antara orang Jawa. Walaupun kelekatan ini tidak sedahsyat rakyat Madura atau Bugis, namun cukup penting untuk mendapat perhatian khusus bila kita melihat sejarah orang Sunda.
Salah satu aspek sangat penting dalam agama-agama orang Sunda adalah dominasi kepercayaan-kepercayaan pra-Islam. Kepercayaan itu merupakan fokus utama dari mitos dan ritual dalam upacara-upacara dalam lingkaran kehidupan orang Sunda. Upacara-upacara tali paranti (tradisi-tradisi dan hukum adat) selalu diorientasikan terutama di seputar penyembahan kepada Dewi Sri (Nyi Pohaci Sanghiang Sri). Kekuatan roh yang penting juga adalah Nyi Roro Kidul, tetapi tidak sebesar Dewi Sri. Ia adalah ratu laut selatan sekaligus pelindung semua nelayan. Di sepanjang pantai selatan Jawa, rakyat takut dan selalu memenuhi tuntutan dewi ini hingga sekarang. Contoh lain adalah Siliwangi. Siliwangi adalah kuasa roh yang merupakan kekuatan dalam kehidupan orang Sunda. Ia mewakili kuasa teritorial lain dalam struktur kosmologis orang Sunda.
MANTERA-MANTERA MAGIS
Dalam penyembahan kepada ilah-ilah ini, sistem mantera magis juga memainkan peran utama berkaitan dengan kekuatan-kekuatan roh. Salah satu sistem tersebut adalah Ngaruat Batara Kala yang dirancang untuk memperoleh kemurahan dari dewa Batara Kala dalam ribuan situasi pribadi. Rakyat juga memanggil roh-roh yang tidak terhitung banyaknya termasuk arwah orang yang telah meninggal dan juga menempatkan roh-roh (jurig) yang berbeda jenisnya. Banyak kuburan, pepohonan, gunung- gunung dan tempat-tempat serupa lainnya dianggap keramat oleh rakyat. Di tempat-tempat ini, seseorang dapat memperoleh kekuatan-kekuatan supernatural untuk memulihkan kesehatan, menambah kekayaan, atau meningkatkan kehidupan seseorang dalam berbagai cara.
DUKUN-DUKUN
Untuk membantu rakyat dalam kebutuhan spiritual mereka, ada pelaksana- pelaksana ilmu magis yang disebut dukun. Dukun-dukun ini aktif dalam menyembuhkan atau dalam praktek-praktek mistik seperti numerology (penomoran). Mereka mengadakan kontak dengan kekuatan-kekuatan supernatural yang melakukan perintah para dukun ini. Beberapa dukun ini akan melakukan black magic tetapi banyaknya adalah jika dianggap sangat bermanfaat bagi orang Sunda. Sejak lahir hingga mati hanya sedikit keputusan penting yang dibuat tanpa meminta pertolongan dukun. Kebanyakan orang mengenakan jimat-jimat di tubuh mereka serta meletakkannya pada tempat-tempat yang menguntungkan dalam harta milik mereka. Beberapa orang bahkan melakukan mantera atau jampi-jampi sendiri tanpa dukun. Kebanyakan aktivitas ini terjadi di luar wilayah Islam dan merupakan oposisi terhadap Islam. Tetapi orang-orang ini tetap dianggap sebagai Muslim.
KESIMPULAN
Memahami orang Sunda pada zaman ini merupakan tantangan yang besar bagi sejarawan, antropolog dan sarjana-sarjana agama. Bahkan sarjana- sarjana Sunda terkemuka segan untuk mencoba melukiskan karakter dan kontribusi rakyat Sunda. Agaknya, melalui berbagai cara, masyarakat Sunda telah terserap ke dalam budaya Indonesia baru 50 tahun yang lalu. Pendapat pribadi saya adalah bahwa kita akan segera mengamati suatu pembaharuan etnis dl antara orang-orang Sunda yang disertai dengan definisi baru tentang apa artinya menjadi orang Sunda.
Catatan Kaki:
  1. Cosmology and Social Behavior in a West Java Settlement (Ohio University Center for International Studies, 1978) 16.
  2. Edi S. Ekadjati, Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1984) 93.
  3. Indonesia di Tengah-tengah Dunia dari Abad ke Abad Vol. 2 (1978) 177-178.
Sumber : Veritas 1/2 (Oktober 2000), Hlm 203-213

Anak 9 Tahun Melahirkan

Okezone

BEIJING - Seorang anak perempuan yang masih berusia sembilan tahun, secara mengejutkan melahirkan seorang anak di sebuah rumah sakit di China. Anak perempuan yang seharusnya masih menikmati masa bermainnya tersebut, justru harus berjuang di meja operasi untuk melahirkan anaknya.
Bocah sembilan tahun tersebut berhasil melahirkan bayinya yang berjenis kelamin laki-laki dengan kondisi sehat melalui proses bedah caesar. Bocah perempuan itu pun berhasil melahirkan bayi dengan berat 2,75 kilogram pada 27 Januari lalu.
Meskipun usianya yang masih teramat muda saat melahirkan seorang bayi, namun bocah perempuan yang berasal dari Songyuan, China, tersebut dilaporkan dalam kondisi sehat. Hal ini memang mengejutkan mengingat melahirkan saat usia masih di bawah umur dapat menyebabkan komplikasi parah. Demikian diberitakan City Evening News, Kamis (4/2/2010).
Hingga kini masih belum diketahui siapa ayah dari bayi tersebut. Tetapi pihak keluarga dari anak perempuan yang tidak diketahui namanya tersebut diketahui telah meminta bantuan hukum. Hubungan seks dengan anak yang berusia di bawah 14 tahun secara otomatis dianggap sebagai kasus perkosaan di China.
Angka kehamilan di usia muda saat ini memang terus meningkat. Sebuah penelitian yang dilangsungkan oleh rumah sakit Shanghai menemukan jika 30 persen upaya aborsi dilakukan oleh gadis remaja yang masih bersekolah. (faj)